BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan masyarakat itu, kebudayaan memperoleh tempat khusus, karena kebudayaan
adalah ciri umum suatu masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan
pemilik suatu kebudayaan. Keseluruhan permasalahan masyarakat, tidak bisa
dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya (Ratna, 2005:23).
Untuk
mengetahui dan mengkaji corak kebudayaan, tentu dibutuhkan ilmu bantu yang
relevan, di antaranya ilmu antropologi1. Sebagaimana asal-usul dari antropologi
dari yaitu antropo artinya manusia, dan logos artinya ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, antropologi, khususnya antropologi budaya, adalah
ilmu yang membicarakan manusia dan kebudayaannya. Kebudayaan dalam arti
“keseluruhan sistem gagasan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”
(Koentjaraningrat, 1990:180).
Dari
uraian di atas maka, antropologi budayalah yang paling relevan menjadi pisau
analisis seluk beluk atau corak kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
Dari
uraian di atas maka penulis akan mengkaji tentang kebudayaan Batak.
B. Pembatasan
Masalah
Masalah yang akan di bahas adalah
tentang kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat Batak tercakup didalamnya
ketujuh unsur kebudayaaan itu sendiri.
C.
Perumusan masalah
a.
Apa yang dimaksud kebudayaan?
b.
Apa saja unsur-unsur kebudayaan?
c. Bagaimana kebudayaan Batak termasuk ketujuh unsur kebudayaan
itu sendiri?
D. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tentang kebudayaan.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketujuh
unsure kebudayaan menurut Koentjaraningrat
c.
Penelitian ini bertujuan mengungkap unsur-unsur
budaya masyarakat Batak
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dipakai sebagai bahan pembanding atau pun sebagai rujukan bagi
penelitian-penelitian lain yang sejenis, yakni penelitian aspek budaya, sastra
daerah dan tradisi lisan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Kebudayaan
Oleh
Koentjaraningrat dijelaskan bahwa arti kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup
masyarakat, yang dipilah-pilah menjadi tiga kategori, yaitu: gagasan, tindakan,
dan hasil tindakan. Berdasarkan pada pengkategorian demikian maka
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia (Koentjaraningrat, 1990:180).
Kebudayaan
itu oleh Ralph Linton sebagai berikut.“ Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari
cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau
lebih diinginkan.
Jadi, kebudayaan
menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi gagasan yang mendasari
tingkah laku seperti kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, cara-cara
berlaku, juga hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat kelompok
penduduk tertentu.
a.
Unsur-unsur Kebudayaan
Unsur-unsur
utama kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1999: 203- 204) terdiri atas tujuh
unsur. Ketujuh unsur tersebut ialah (1) bahasa, (2) system pengetahuan, (3)
organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata
pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
(a)
Bahasa
Bahasa adalah
sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi
satu dengan yang lain. Dalam karangan etnografi, bahasa masyarakat tercermin
dalam rangkaian kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh suku bangsa, beserta
variasi-variasi dari pemilik bahasa itu.
(b)
Sistem pengetahuan
Sistem
pengetahuan dalam suatu kebudayaan, merupakan suatu uraian tentang
cabang-cabang pengetahuan yang dimiliki masyarakat, menyangkut pengetahuan
tentang: (1) alam sekitarnya, (2) alam flora di daerah tempat tinggalnya, (3)
alam fauna di daerah tempat tinggalnya, (4) zat-zat, bahan mentah, dan
benda-benda dalam lingkungannya, (5) tubuh manusia (6) sifat-sifat dan tingkah
sesama manusia;dan (7) ruang dan waktu.
(c)
Organisasi Sosial
Dalam tiap
kehidupan masyarakat, unsur-unsur khusus dalam organisasi sosial diorganisasi
atau diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam
kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul sehari-hari.
Kesatuan sosial
yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti
yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar
kaum kerabat, tetapi masih lingkungan komunitas. Karena tiap masyarakat
terbagi-bagi menjadi lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kaum kerabatnya
menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih tinggi dari padanya, tetapi juga
orang-orang yang sama tingkatnya. Di antara golongan terakhir ini ada
orang-orang yang dekat padanya dan ada pula orangorang yang jauh padanya(
Koentjaraningrat, 1990:366). Sistem kekerabatan dalam masyarakat, tercermin
dalam: perkawinan tolong-menolong antarkerabat, sopan-santun pergaulan
antarkerabat, sistem istilah kekerabatan dan sebagainya (Koentjaraningrat,
1990:208).
2.2.4
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Koentjaraningrat
mengatakan bahwa dalam teknologi tradisional dikenal paling sedikit 8 (delapan)
macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik. Kedelapan dipakai oleh
manusia hidup dalam masyarakat pedesaan yang hidup dalam masyarakat kecil yang
berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, berupa:
(1) alat-alat produktif, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat-alat menyalakan api,
(5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamu, (6) pakaian dan
perhiasan, (7) tempat berlindung dan perumahan, (8) alat-alat transpor.
(Koentjaraningrat 1990:343).
2.2.5
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Untuk
mempertahankan hidup, manusia harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis
dan sosial, seperti makan, minum, dan bekerja sama. Untuk itu, mengapa manusia
harus bisa bekerja atau memiliki mata pencaharian. Sistem mata pencaharian
dapat diperinci ke dalam beberapa jenis seperti: perburuan, peladangan,
pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri
manufaktur. Tiap jenis mata pencaharian tadi, terkait dengan system sosialnya,
sisem sosial yang berlaku dan diberlakukan di dalam berinetraksi dan bekerjasama
dalam kaitannya dengan mata pencaharian disebut sebagai adat. Adat dalam sistem
sosial tercermin dari keteraturan dalam berbagai aktifitas sosialnya. Sedangkan
adat yang dimanifestasikan dalam wujud fisik yang berupa berbagai peralatan
yang tentunya merupakan benda-benda kebudayaan (Koentjaraningrat 1990: 207).
2.2.6
Sistem Religi
Sistem religi,
menyangkut sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan
religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi
keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah
dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya
berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Sistem
upacara kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang
riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku
yang biasanya juga dianggap suci. Sistem upacara keagamaan secara khusus
mengandung empat aspek yaitu : (1), tempat upacara kegamaan dilakukan, (2)
saat-saat upacara keagamaan dijalankan, (3) benda-benda dan alat-alat upacara,
(4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. (Koentjaraningrat
1990:377-378).
2.2.7.
Kesenian
Kesenian sebagai
unsur kebudayaan, merupakan ekspresi hasrat manusia akan keindahan.
BAB
III
PEMBAHASAN
DAN HASIL PENELITIAN
2.3.
Kebudayaan Masyarakat Batak
2.3.1 Pengertian
Kebudayaan Batak
Batak
adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra
Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi dan ada pula
yang menganut kepercayaan animisme (disebutParmalim). Yang dimaksud dengan
kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan sukubangsa Batak
diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan
menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai
kehidupan tersebut menjadi suatu ciri yang khas bagi sukubangsa Batak yakni :
Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yangmenciptakan
alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan
sebagai mahluk sosial yangselalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya,
Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi spritualnya, alam lingkungan sebagai
objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik. Patik berfungsi
sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran.Patik
ditandai dengan kata Unang, Tongka, Sotung, Dang Jadi. Sebagai akibat dari
penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau
Hukum.Uhum/Hukum ditandai olehkata; Aut, Duru, Sala, Baliksa, Hinorhon, Laos,
Dando, Tolon, Bura dsb. Didalam menjalankan kehidupan suku bangsa Batak
terutama interaksi antara sesama manusia dibuatlah nilai-nilai antara sesama,
etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistem kekerabatan
yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk
tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung. Dan mengharamkan
segala aturan untuk dilanggar dikatakan dengan kata Subang
Berikut ini akan penulis uraikan unsur
budaya yang terdapat pada Masyarakat Batak. Namun demikian, analisis
hanya beberapa unsur saja yang penulis anggap penting dan menonjol, terbatas
pada bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan atau religi, dan
kesenian.
2.3.1 Bahasa
Bahasa sangat
penting artinya bagi suatu kelompok masyarakat, baik modern ataupun pra-modern.
Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi antar manusia, tetapi
juga sebagai perekat persatuan antarwarga suatu komunitas dan simbol identitas
bahasa yang membanggakan bagi pemiliknya. Demikian halnya dengan masyarakat
Batak, menggunakan bahasa Batak dalam berinteraksi sosial yang menjadi ciri
khas budaya mereka. Bahasa khas yang sering diucapkan oleh orang-orang Batak adalah
horas.
Horas adalah kata
salam masyarakat Batak yang berasal dari daerah Sumatera Utara, khususnya
“Tapanuli”, yang selalu diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain kata
horas salam khas yang lain, yaitu mejuah-juah dari daerah Karo, njuah-juah
dari daerah Dairi, yahobu dari daerah Nias. Namun, kata horas
lebih umum digunakan dan lebih populer. Sulit untuk menemukan kata yang tepat dalam
bahasa Indonesia, karena kata horas mempunyai makna yang sangat luas, di
antaranya adalah: apa kabar, walafiat, salam perkenalan, selamat pagi/siang/malam,
selamat datang/ jalan, selamat tinggal, dan lain-lain.
Bahasa adalah
sarana komunikasi untuk menerima infomasi dan menginformasikan sesuatu kepada
orang lain dengan lisan atau tulisan. Bahasa Batak adalah bahasa yang
dipergunakan masyarakat Batak sebagai bahasa seharihari baik dalam
upacara-upacara adat maupun keagamaan.
Marbun dan
Hutapea (1987:59) mengartikan kata horas atas dua jenis, yaitu : (1).
Kuat, tetap teguh, selamat, keras. Sejak semula ucapan salam orang Batak
ialah:” Horas tondi madingin, pir tondi matogu!” artinya: semoga tondi
kita tetap kuat, nyaman dan teguh. (2) ucapan salam pertemuan, perjumpaan,
sebagai pemberkatan atau sebagai doa.
Penduduk Tanah
Batak biasa disebut suku bangsa Batak. Suku bangsa ini masih terbagi-bagi
menjadi beberapa subsuku. Mengutip pendapat Joustra (dalam Simanjuntak,
2006:18) bahwa suku bangsa Batak terdiri atas enam subsuku.
Joustra
mendasarkan pembagian atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan
dialek di antara masing-masing subsuku sebagai berikut :
1.
Batak Karo, di bagian utara Danau Toba
2.
Batak Pak-pak/ Dairi di bagian barat Tapanuli
3.
Batak timur atau Simalungun di timur Danau Toba
4.
Batak di tanah Batak pusat dan di utara Padang Lawas
5.
Batak Angkola di Angkola, Sipirok, Padang Lawas tengah dan sibolga
6.
Batak Mandailing di Mandailing dan Padang Lawas bagian selatan.
Bahasa yang
dipergunakan masyarakat Batak dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Toba
atau bahasa tutur parhataan, karena kelima suku Batak tersebut memiliki
bahasa yang berbeda-beda. Batak Karo menggunakan bahasa Karo, Batak Simalungun
menggunakan bahasa Simalungun, Pakpak/Dairi menggunakan bahasa Dairi, dan
Mandailing menggunakan bahasa Mandailing.
2.3.2
Sistem Pengetahuan
Sistem
pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang
diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan
dua jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk
keperluan bercocok tanam.
Selain
pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai
konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar
mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan
hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan
sebagainya.
Jenis tumbuhan bambu misalnya dimanfaatkan suku
masyarakat Batak untuk membuat tabung air, ranting-ranting kayu menjadi kayu
bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu,
yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan
tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang dimanfaatkan
masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari kulit kayu
biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu kedukunan, surat
menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak ditonjolkan tetapi
secara tersirat ada, karena yang menggunakan lak-lak tersebut hanya
seorang Datu.
Masyarakat Batak
mengetahui dan menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara
efektif dan memanfaatkan untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara
pemakaman itu hanya untuk raja-raja, tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai
kedudukan saja. Hal itu disebabkan pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan
dana yang cukup besar.
Di Tomok hanya
ada beberapa saja yang ditemukan makam raja, yang tidak dikubur dalam tanah.
Sejarah
terbentuknya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan-tumpukan batu yang
berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan, tumpukan-tumpukan batu itu
dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat sekali dengan kepentingan
kepercayaan masyarakat Batak pada masa itu. Kemudian tumpukan itu berkembang
terus dan berobah menjadi sebuah patung, sesuai perkembangannya dari wujud
sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah manusia atau
binatang.
2.3.3
Organisasi Sosial
2.3.3.1 Sistem
Kekerabatan
Sistem
kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan ayah.
(Vergouwen 2004:1).
Dalam
berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak, mereka
harus mampu menempatkan dirinya dalam struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari
kemungkinan hubungan kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur.
Hubungan antara
satu marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa
kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar,
apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan sebutan dongan-sabutuha
(mereka yang berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki
diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak
laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal ini yang menjadi
tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan
kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki.
Laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan
hubungan besan (affinal relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki
dari kelompok patrilineal yang lain.
Selain itu
pernikahan juga berfungsi
menentukan kedudukan, hak, dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau
kelompok kehidupan adat,bermasyarakat.
Kedudukan yang
paling tinggi adalah golongan hula-hula. Hulahula dianggap masyarakat
Batak sebagai golongan yang sangat dihormati dan tinggi kedudukannya. Hal itu
ditegaskan oleh Vergouwen (melalui Simajuntak 2005:102) bahwa hula-hula adalah
Debata na tarida (Tuhan yang terlihat). Sebagai pihak pemberi istri,
golongan ini dianggap mempunyai kekuatan magis religius untuk melimpahkan pasu-pasu
(anugerah roh) atau sahala (kekuatan rohani) pada golongan penerima
istri. Hula-hula boleh meletakkan tangan kekepala pihak boru dan
kelompoknya.
2.3.3.2 Tarombo/Silsilah
. Tarombo atau silsilah adalah marga dalam
masyarakat Batak (Sarumpaet 1995:200). Tarombo adalah daftar asal-usul
suatu keluarga (Marbun dan Hutapea, (1987:173). Dalam hal ini, hampir
semua marga Batak telah mempunyai tarombo secara tertulis, di dalamnya
tercatat semua keturunan marga yang bersangkutan. Kalaupun belum ada tarombo
tertulis, setidaknya semua keluarga dapat mengetahui nama nenek moyangnya
turun temurun, kepada dirinya sendiri.
Sebelum membahas
lebih jauh, penulis akan menjelaskan asal-usul marga Batak. Kata marga “kelompok
suku” dan marga “ induk” sudah sering digunakan seperti kata marga. Penggunaan
ini tidak sesuai dengan ungkapan orang Batak yang memberikan makna tanpa batas
yang pasti pada kata marga.
Orang Batak menggunakan
kata marga untuk menunjukkan, baik satuan-satuan yang lebih kecil maupun yang
lebih besar, juga kelompok-kelompok yang paling besar (lihat Vergouwen,
2004:19-20).
Sarumpaet
(1995:136) memberikan pengertian tentang marga yaitu keluarga besar dari satu
keturunan yang memakai satu nama keluarga.
Sementara
menurut Situmorang kata marga berasal dari Sansekerta berarti
jalan,tetapi mungkin juga aslinya berbunyi warga (sansekerta), yang menjadi marga
dalam pelafasan menurut lidah Batak yang tidak mengenal huruf w, sehingga
prinsip kemargaan sebenarnya bisa berarti kewargaan (dari satu garis keturunan/
marga) (2004:254).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas jelas
begitu pentingnya marga dalam kehidupan masyarakat Batak. Jadi, pada umumnya
semua orang Batak membubuhkan marga bapanya di belakang nama kecilnya.
Marga adalah kelompok
kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau
yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek bersama menurut
perhitungan garis patrilineal (kebapaan).
Sistem marga
sebagai warisan leluhur dipupuk untuk menentukan identitas pribadi atau pun
golongan; dan sistem ini sejalan dengan silsilah yang dipertahankan secara
terus-menerus. Suatu hal yang lumrah bilamana seorang Batak tidak mengetahui
silsilahnya atau hilang marganya, sebab disengaja atau tidak, maka orang itu
disebut lilu (kesasar). Kemudian muncullah istilah Batak kesasar. Setiap
orang Batak tidak akan senang disebut Batak kesasar. Untuk menghindari
timbulnya istilah seperti itu di tengah-tengah masyarakat, maka setiap orang
harus mengetahui sejarah leluhur yang mewariskan marga, sesuai dengan jenjang
silsilah yang turun-temurun.
Cerita tentang
asal-usul orang Batak dikatakan bahwa nenek moyang mereka adalah seorang putri
surga yang bernama Siboru Deak Parujar. Debata Mula Jadi Na Bolon mengawinkan
Si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-odap, juga berasal dari surga. Dari perkawinan
mereka lahir sepasang anak kembar bernama Raja Ihat Manisia dan boru Ihot
Manisia (perempuan). Kemudian keduanya menikah dan dan melahirkan tiga anak,
yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu, dan Siaji Lapas-lapas. Raja Miok-miok
mempunyai anak bernama Eng Banua. Kedua saudara raja Miok-miok tidak diketahui
kabarnya oleh orang Batak. Eng Banua mempunyai tiga anak bernama Raja
Bonang-bonang, Si Raja Atseh, Si Raja Jau. Namun, kedua saudaranya tidak
diketahui kemudian. Si Raja Bonangbonang hanya punya anak satu bernama Guru
Tantan Debata, yang anaknya bernama Si Raja Batak. Lalu Si Raja Batak mempunyai
dua orang anak yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Dari kedua orang ini
berkembang marga-margayang terdapat di tengah-tengah masyarakat Batak (lihat
Simanjuntak, 2006:78-79).
Vergouwen
(2004:8) mengatakan bahwa dari keturunan Guru Tatea Bulan muncul marga-marga Lontung,
dan dari Raja Isumbaon muncul kelompok marga-marga Sumba.
Kedua kelompok ini merupakan induk marga-marga Batak. Dari uraian di atas
diketahui bahwa marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang mempunyai dua anak
lelaki, Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon, yang menjadi leluhur dari kedua
belahan atau cabang yang mencakup seluruh orang Batak. Jadi, suku Batak
terabagi atas cabang Sumba dan Lotung
Marga memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat Batak. Apabila seorang pemuda Batak
mengambil istri dari suku lain, atau seorang gadis kawin dengan seorang pemuda
dari suku lain, biasanya diadakan upacara adat mangangkat marga. Pengangkatan
marga untuk wanita yang berasal dari suku lain disebut mangampu boru dan
marga yang diambil biasanya marga ibu atau pun marga nenek sang suami yang
berasal dari luar, disebut mangampu hela.
Perkawinan
semarga sangat dilarang dalam masyarakat Batak, karena dua orang yang memiliki
marga yang sama dianggap bersaudara. Tindakan yang dilakukan oleh dua orang
yang kawin semarga, yang hampir tidak pernah terjadi disebut marsumbang
Setiap dua orang
Batak dengan tepat dapat menelusuri hubungan kekerabatannya secara vertikal
melalui garis keturunan, dan secara vertical horizontal melalui hubungan
perkawinan.
Kurang lebih sekitar satu juta orang Batak,
seseorang sering bertemu dengan orang Batak lain yang benar-benar saling tidak
kenal, pada umumnya orang Batak memiliki minat yang tinggi terhadap martutur
(menelusuri) mata rantai silsilah partuturan (kekerabatan) jika ia
berjumpa dengan orang Batak lainnya; apakah mereka kemudian menjadi kerabat
dengan lainnya; apakah mereka kemudian menjadi kerabat melalui perkawninan; dan
sebagai akibatnya, bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa.
Minat masyarakat
Batak untuk mengetahui asal usul nenekmoyangnya terungkap pada umpama (
peribahasa) berikut :
Tinitip sanggar
bahen huru-huruan
Jolo sinungkun
marga asa binoto partutura
Artinya
Untuk membuat
sangkar burung, orang harus memotong galah
Untuk tahu
hubungannya kekerabatannya, orang harus menanyakan marga.
2.3.3.3
Pemakaian Marga
Secara otomatis,
seseorang yang dilahirkan di dalam suatu keluarga marga akan memperoleh marga
itu. Kekeluargaan yang berdasarkan garis keturunan bapak, menimbulkan turunnya marga
bapak kepada anak-anaknya.
Setiap orang Batak,
memakai marganya di belakang nama biasa. Di mana pun mereka berada, marga itu
selalu dipakai. Mengapa? karena Bagi orang Batak, marga adalah identitas. Marga
berbau adat kalau di kalangan orang Batak, dan berbau suku kalau berhubungan sosial
dengan suku bangsa lain. Juga kalau berhubungan dengan bangsa lain, marga tetap
berbau suku. Jadi, walaupun mereka hidup terpencar di dunia marga itu tetap
berfungsi adat untuk intern mereka. Misalnya, kalau dua orang marga Munthe
bertemu di Semarang, satu laki-laki dan yang satu perempuan, maka secara
otomatis mereka berhubungan sosial disebut namarito. Tetapi setelah
mereka mengetahui derajat keturunan masing-masing dari Sumba, maka
hubungan itu bisa menjadi hubungan bapak dan boru atau ama naposo (bapak
muda) dan namboru atau tetap namarito.
Setelah
mengetahui partuturan (hubungan keluargaan adat), maka dengan sendirinya
berlaku adat persaudaraan dan tanggung jawab secara adat. Berlaku adat hak dan
kewajiban, yang boleh dan tidak boleh di dalam hubungan sosialmereka. Perasaan
persaudaraan, semarga seketurunan dan senenek moyang itu muncul dengan
sendirinya.
2.3.4
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan
hidup dan teknologi masyarakat Batak . Sistem teknologi itu sendiri
dapat diartikan sebagai segala tindakan serta cara manusia membuat,
memakai, dan memelihara seluruh peralatannya selama hidupnya. Cakupan
unsur-unsur sistem teknologi meliputi berbagai macam peralatan seperti
alat-alat produksi, senjata, makanan, minuman jamu atau obat-obatan, pakaian,
perhiasan, rumah dan sebagainya.
Masyarakat
Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan
untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi)
atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso
surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur
(sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
2.3.4.1 Pakaian dan Perhiasan
Sistem teknologi
terdapat dalam sastra lisan walaupun tidak terlalu menonjol. sistem teknologi
pada zaman dulu sudah ada, misalnya pakaian yang sudah berwarna. Pakaian dalam
arti seluas-luasnya juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting
bagi untuk semua suku bangsa di dunia. Bahan mentah pakaian dapat dikelaskan ke
dalam : pakaian dari bahan tenun, pakaian dari kulit pohon dan pakaian dari
kulit binatang dan lain-lain
Asesoris bagi
kaum perempuan Batak, benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang adalah
symbol identitas budaya masyarakat Batak, di samping difungsikan sebagai benda
untuk memepercantik kaum perempuan.
Dalam bidang
teknologi tradisional masyarakat Batak lainnya dalam benda budaya yang berupa
pakaian tenun, meskipun produk itu masih sederhana.
2.3.4.2 Wadah
Wadah adalah
alat tempat untuk menimbun, memuat, dan menyimpan barang. Berbagai macam wadah
diklasifikasikan menurut bahan dasarnya, yaitu kayu, bambu, kulit kayu,
tempurung, serat-seratan, atau tanah liat. Masyarakat Batak memiliki beberapa
macam wadah, yaitu hadangan (keranjang)
dan uncang-uncang (pundi-pundi).
Selain hadangan
dan uncang-uncang, peralatan lainnya adalah tempat duduk.
Tempat duduk pada masyarakat Batak adalah amak (tikar). Alat ini selalu
mengambil peranan penting, baik dalam upacara di halaman maupun di rumah.
Adapun jenis tikar yang digunakan untuk tempat duduk, kadang-kadang juga
berfungsi sebagai tempat tidur. Tikar ini biasanya pada zaman dahulu dianyam
sendiri. Menganyam tikar merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh kaum
perempuan, pekerjaan dilakukan pada waktu senggang.
2.3.4.3 Minuman
Tuak tidak dapat
dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Batak di desa yang senang “nongkrong” di cafe
khas Batak, yakni lapo atau kedai tuak. Lapo adalah media
pergaulan masyarakat desa Batak. Mereka datang ke lapo dengan berbagai
latar belakang, tujuan, serta dengan karakter yang bermacam-macam.
Kebiasaan
bergaul di lapo secara positif dijadikan sebagai pengisi waktu luang,
bersantai sejenak melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah-ladang,
sambil menunggu saat tidur malam hari. Sambil mereguk tuak, bermain catur atau
sekadar menonton marende (bernyanyi) sambil memetik gitar, di lapo mereka
bertukar pikiran, saling mencurahkan beban hidup yang beragam. Mereka pun
terlibat perbincangan panjang beragam topik mulai masalah pribadi atau seputar
komunitas mereka, soal pendidikan anak-anak, pertanian, agama, adat-istiadat,
dan banyak hal lainnya di sekitar kehidupan mereka. Secara negatif,
kadang-kadang mereka juga bercakap kesana-kemari tidak tentu arah sampai larut
malam. Ada kalanya ketika pulang ke rumah mereka sudah mabuk disebabkan alkohol
tuak. Kondisi mabuk justru membawa tidur mereka dapat pulas, saat mana tenaga
bisa terkumpul kembali di tubuh untuk bekal mereka membanting tulang esok hari
disawah-ladang.
Sementara tuak
itu sendiri terbuat dari nira, sejenis bir alam yang sudah diberi campuran.
Campuran khusus terbuat dari kulit kayu yang disebut raru. Apabila air
nira sudah dicampur dengan kulit kayu itu selama semalam, terjadi reaksi kimia
yang membuat warnanya berubah menjadi putih dan berasa pahit dan mengandung
alkohol. Menurut Tambunan, tuak tangkasan berasal dari air nira yang
disadap pada mayang enau yang pertama keluar dari batangnya, merupakan
kombinasi khusus untuk para Datu. Dalam tugas Datu sebagai perantara (medium)
dengan roh-roh halus, maka minum tuak tangkasan merupakan semacam
upacara magis spritual sebelum melaksanakan tugas.(lihat Tambunan, 1982:25).
2.3.4.4 Rumah
Teknologi
pembuatan rumah sebagai suatu karya kebendaan masyarakat Batak terlihat dari
desain rumah yang memiliki kolong dan bertangga,
Rumah disebut
juga jabu atau bagas. Rumah orang Batak melukiskan alam kosmos.
Rumah bagian pertama disebut bara, tombara (kolong) rumah.
Gunanya untuk kandang ternak, kerbau atau sapi. Ternak itu adalah sahabat
manusia yang turut membantu usaha pertanian. Oleh sebab itu, mereka juga harus
dilindungi.
2.3.5
Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian
utama masyarakat Batak pada umumnya ialah bertani, bersawah, berladang,
berkebun, dan beternak. Sebagian mengkhususkan diri dalam mata pencaharian
berjualan, bertukang, kerajinan tangan, pegawai atau buruh harian di sawah, dan
sebagainya. (lihat Simanjuntak, 2006:21).
Juga selain
sebagai pemahat patung, sumber mata pencaharian lain mereka adalah berdagang, misalnya membuka
warung (kedai) dan ada juga berdagang pada waktu pekan dan berpindah-pindah.
Pasar biasanya diadakan hanya seminggu sekali, namun tiap huta (desa)
berbeda-beda harinya.
Secara umum
masyarakat Batak mempunyai mata pencaharian sebagai petani ladang dan sawah,
mereka melakukan aktivitas bercocok tanam padi sebagai mata pencaharian utama.
Hasil panen padi
mereka pada umumnya diolah sendiri menjadi beras. Caranya, setelah selesai
dipanen biasanya padi dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk di dalam losung
(lesung). Dengan cara menampi mereka memisahkan gabah dan beras, itu
merupakan cara tradisional sebelum masuknya mesin penggilingan padi. Kegiatan
ini biasanya dilakukan oleh kaum wanita, dan dilakukan secara bergotong-royong.
Kegiatan menumbuk padi ini dilakukan pada waktu senggang sore hari, sepulang
dari sawah atau ladang.
Selain ahli
patung, dan berdagang, mata pencaharian lain yang juga dilakukan masyarakat
Batak ialah beternak. Berternak merupakan mata pencaharian sampingan untuk
menambah kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan untuk adat -istiadat,
terutama ternak babi, kerbau, sapi, ayam, kuda dan memelihara ikan. Pekerjaan
beternak dilakukan secara perseorangan, tetapi setiap orang memelihara tidak
semua jenis ternak. Kadang-kadang hanya beternak babi saja, atau kerbau saja.
2.3.6
Sistem Kepercayaan atau Religi
Sistem
kepercayaan atau sistem religi sebagai suatu aspek social masyarakat Batak
merupakan hal yang paling menonjol.
Sempat di Batak menganut animisme (tidak mengenal
Tuhan melainkan percaya dan memuja roh-roh halus). Namun, di sisi lain mereka
juga mengenal “Tuhan” dalam konsep Mula Jadi Na Bolon ( Sang Pencipta
Yang Agung) agama asli suku Batak. Jadi, sistem kepercayaan lama Batak itu,
sebenarnya adalah Dinamisme, dua keyakinan sekaligus, yakni konsep Dewata
dan Konsep Mula Jadi Na Bolon.
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi
batak selatan. Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi
batak utara. Walaupun demikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan
yang masih mmpertahankan konsep asli religi penduduk batak. Orang batak
mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta
Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama
sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat
tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan
sebagai penguasa dunia mahluk halus.
Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal
tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga
percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal
2.3.6.1 Percaya
tentang Roh
Dalam hal jiwa
dan roh, masyarakat Batak mengenal beberapa kensepsi, antara lain yang disebut tondi,
sahala dan begu. Tondi atau roh adalah diri pribadi orang
itu sendiri. Di dalam diri orang yang hidup terdapat tondi. Apabila
manusia sudah meninggal, maka sekaligus tondinya lenyap. Tondi tersebut
merupakan keadaan yang kekal bersama tubuh selama manusia hidup. Tondi menentukan
nasib setiap orang. Sebelum lahir, tondi setiap orang akan meminta
sehelai daun pohon kehidupan dan di atas daun itu ditulis nasibnya. Jadi,
nasibnya bebas diberikan sesuai dengan yang dimintanya
Demikian menurut
keyakinan masyarakat Batak zaman dahulu. Tondi dianggap mempunyai suatu
eksistensi yang berdiri sendiri dan kemampuan menggunakan pengaruhnya atas
kejadian-kejadian yang sekarang dan akan datang. Tondi orang hidup
adalah orang yang meninggal dan mereka yang lahir adalah bersama dewata
tertinggi di dunia dan bergabung dengan dewata dengan cara sedemikian rupa
sehingga tondi itu dewata tertinggi sendiri berada dalam semua makhluk
hidup.
Begu adalah tondi orang
yang sudah mati. Kematian, sebagaimana dalam pengertian ajaran agama manapun,
adalah bercerainya tubuh dengan roh. Sesuai dengan alam pikiran masyarakat
primitif, begu itu mempunyai kegiatan yang berlawanan dengan manusia
diwaktu malam. Sifat-sifatnya sama dengan sifatsifat waktu hidup. Di antara begu-begu
itu ada yang baik dan ada pula yang jahat.
Begu yang jahat tersebut
dipuja dengan perantaraan pellean (sesajen), dan dapat mendatangkan bala
apabila tidak disembah. Sedangkan pengertian tondi di atas ada kaitannya
dengan apa yang disebut sahala. Sahala itu berhubungan dengan kualitas
seseorang.
Sahala itu tidak hanya
melukiskan tentang fisik seseorang saja, tetapi sesuatu yang terkandung pada
diri seseorang itu. Sahala itu berbeda kualitasnya pada setiap orang. Sahala
itu bersifat kekal, menurut kepercayaan masyarakat Batak, sahala itu
menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Di antara
upacara Toba ada dua jenis upacara terpenting, yaitu: (1) Horja, pesta marga
(dibedakan dari pengertian Horja sebagai institusi sub-divisi Bius),
diprakarsai oleh marga untuk melaksanakan puja kepada “leluhur marga”
(Ompu atau pinompar marga), dipimpin oleh tua-tua marga (suhut),
dengan atau tanpa memesan Datu-Bolon untuk acara “mengundang roh
leluhur”, dengan “tari tunggal panaluan”. (2) Pesta Bius (istilah
asli) yang berlangsung sekali tiap “tahun padi”, yang sepenuhnya
diselenggarakan oleh organisasi Parbaringin di bawah pimpinan Pande-Bolon,
pendeta utama. Upacara itu didukung dan dihadiri oleh seluruh warga Bius
tanpa pandang usia dan jenis kelamin atau kedudukan sosial. Organisasi Parbaringin
bertangung jawab pada pemerintahan sekuler Bius mengenai jalannya
keseluruhan upacara (Situmorang, 2005:140).
2.3.7
Kesenian
Seni pada masyarakat Batak umumnya
meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari, seni bangunan, seni patung, dan
seni kerajinan tangan. Terdapat beberapa
seni masyarakat Batak, antara lain
2.3.7.1 Margondang
2.3.7.1 Margondang
Upacara margondang
diadakan untuk menyambut kelahiran anak mereka dan sekaligus mengumumkan
kepada warga kampung bahwa dia sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan
bentukan dari kata dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau
ber-.
Margondang menyatakan kata
kerja yakni bergendang atau memainkan alat musik gendang. Margondang merupakan
suatu kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu.
Tujuan filosofinya adalah untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena
merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
Margondang tidak pada semua
acara adat dapat dihadirkan. Upacara margondang misalnya dilakukan pada
pesta muda-mudi, pesta selamatan pada masa panen sebagai ucapan syukur, pada
adat peristiwa kematian orang-orang tua yang sudah bercucu, upacara ritual
menggali tulang-belulang orang tua atau leluhur, dan beberapa pesta adat
lainnya
2.3.7.2
Manortor
Tortor
adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang).
Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan
semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila upacara
penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja
adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau
memberi nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring
(upacara menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon);
upacara tahunan, dan pesta edangedang (pesta sukaria) (Marbun dan
Hutapea, 1997:181).
Hal
terburuk yang bisa saja terjadi pada masyarakat Batak adalah meninggal tanpa
sebab, yang menyebabkan rohnya dihukum sehingga rohnya akan mengembara di
tengah-tengah dunia tanpa seseorang pun memuliakan arwahnya atau memberikan
persembahan, berupa makanan, yang disebut dengan pellean (sesajen).
Takdir kematian yang menakutkan itu, juga akan mengganggu ketenangan klen dan
seluruh penduduk yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, masyarakat Batak
mengadakan upacara “papurpur sapata” (menabur sumpah) untuk sedapat
mungkin menghindari takdir jelek yang menimpa masyarakat Batak, yaitu tidak memiliki
keturunan, khususnya keturuan laki-laki dalam keluarga.
Masyarakat
Batak meyakini harta benda yang diwarisi dari seorang yang mati punah,
kebanyakan tidak membawa kebaikan maka seluruh kekayaan yang mati punah
tersebut dihabiskan dengan mengadakan upacara. Orangorangsekitarnya
tidak akan berani mengambil harta benda tsersebut, karena takut akan tertular
atau mati seperti pemiliknya.
Dahulu
kata tari-menari itu dihubungkan dengan kepercayaan animism yang dapat
mendatangkan kuasa-kuasa magis. Orang-orang Batak pada zaman dahulu mengadakan
upacara gendang sambil menari untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan
kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Orangorang primitif itu manari bilamana
ada orang yang lahir, dan apabila seseorang sudah akhil baliq dan diterima sah
sebagai anggota suku, setelah mereka menikah, dan pada waktu sudah mati. Tari
dikalangan masyarakat Batak berkaitan dengan animisme. Pada mulanya
tarian itu dimainkan untuk memuja dewa-dewa. Tarian khusus disampaikan kepada
dewa, akhirnya menjadi tarian umum yang kemudian menjadi seni budaya Batak.
Tari yang bersifat ritus dikenal dengan tongkat sihir yang dimainkan oleh
seorang Datu (dukun) sambil memegang tongkat yang disebut Tunggal
Panaluan.
Gondang
dan tor-tor berhubungan satu sama lain. Irama tari dan nama
tari itu disesuaikan dengan irama gendang. Dahulu gondang itu dibagi dua
kelompok. Kelompok pertama disebut gondang datu yang khusus untuk datu,
dan yang kedua disebut gondang hasuhotan, khusus buat mereka yang
mengadakan acara.
2.3.7.3
Seni Patung
Dulu,
biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku
Batak diduga sudah ada sejak lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada
mulanya dibuat dari tumpukan –tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang
dengan dasar kepercayaan. Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang
kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian
tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk patung.
Sesuai dengan perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang
simbolis memberi rupa wajah manusia atau binatang. Di Tomok, Pulau Samosir,
terdapat jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Bapak
Charles Sidabutar, salah satu keturunan raja yang kini menjaga makam,
menjelaskan bahwa sesuai kepercayaan setempat pada saat itu, jenazah tidak
boleh dimakamkan di tanah, melainkan harus di dalam batu.
Di
daerah Batak peninggalan-peninggalan kebudayaan megalitik sampai saat ini masih banyak
dijumpai, misalnya batu berdiri (menhir) dan batu-batu yang disusun
berupa mejan batu (dolmen) terletak dekat batu-batu kecil (
kursi) yang
dipakai sebagai tempat pertemuan seperti di Ambarita (Samosir), dan Sarcophagus
atau keranda (bentuknya seperti lesung atau palung bertutup). Kursi batu
menurut kepercayaan orang / masyarakat, pada waktu itu adalah tempat para arwah
leluhur mereka, sebab ada penghormatan kepada leluhur, oleh sebab itu mereka
berhak duduk pada kursi-kursi tersebut. Sarcophagus18 atau keranda
yang dibuat dari batu besar bagian tengahnya ditata untuk tempat penguburan
tulangtulang manusia yang berasal dari kebudayaan megalitik muda, yang masih
banyak dijumpai di tanah Batak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar