Minggu, 25 Desember 2011

Kebudayaan Batak


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat itu, kebudayaan memperoleh tempat khusus, karena kebudayaan adalah ciri umum suatu masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan pemilik suatu kebudayaan. Keseluruhan permasalahan masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya (Ratna, 2005:23).  
Untuk mengetahui dan mengkaji corak kebudayaan, tentu dibutuhkan ilmu bantu yang relevan, di antaranya ilmu antropologi1. Sebagaimana asal-usul dari antropologi dari yaitu antropo artinya manusia, dan logos artinya ilmu pengetahuan. Dengan demikian, antropologi, khususnya antropologi budaya, adalah ilmu yang membicarakan manusia dan kebudayaannya. Kebudayaan dalam arti “keseluruhan sistem gagasan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1990:180).
Dari uraian di atas maka, antropologi budayalah yang paling relevan menjadi pisau analisis seluk beluk atau corak kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
Dari uraian di atas maka penulis akan mengkaji tentang kebudayaan Batak.


B.     Pembatasan Masalah
Masalah yang akan di bahas adalah tentang kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat Batak tercakup didalamnya ketujuh unsur kebudayaaan itu sendiri.
C. Perumusan masalah
a. Apa yang dimaksud kebudayaan?
b. Apa saja unsur-unsur kebudayaan?
c. Bagaimana kebudayaan Batak termasuk ketujuh unsur kebudayaan itu sendiri?
D.  Tujuan Penelitian
            a.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebudayaan.
b.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketujuh unsure kebudayaan menurut  Koentjaraningrat
c.  Penelitian ini bertujuan mengungkap unsur-unsur budaya masyarakat Batak
E.  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembanding atau pun sebagai rujukan bagi penelitian-penelitian lain yang sejenis, yakni penelitian aspek budaya, sastra daerah dan tradisi lisan.



BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Kebudayaan
Oleh Koentjaraningrat dijelaskan bahwa arti kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup masyarakat, yang dipilah-pilah menjadi tiga kategori, yaitu: gagasan, tindakan, dan hasil tindakan. Berdasarkan pada pengkategorian demikian maka Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia (Koentjaraningrat, 1990:180).
Kebudayaan itu oleh Ralph Linton sebagai berikut.“ Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
Jadi, kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi gagasan yang mendasari tingkah laku seperti kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, cara-cara berlaku, juga hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat kelompok penduduk tertentu.

a.       Unsur-unsur Kebudayaan
Unsur-unsur utama kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1999: 203- 204) terdiri atas tujuh unsur. Ketujuh unsur tersebut ialah (1) bahasa, (2) system pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
(a)   Bahasa
Bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam karangan etnografi, bahasa masyarakat tercermin dalam rangkaian kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh suku bangsa, beserta variasi-variasi dari pemilik bahasa itu.
(b)   Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, merupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan yang dimiliki masyarakat, menyangkut pengetahuan tentang: (1) alam sekitarnya, (2) alam flora di daerah tempat tinggalnya, (3) alam fauna di daerah tempat tinggalnya, (4) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, (5) tubuh manusia (6) sifat-sifat dan tingkah sesama manusia;dan (7) ruang dan waktu.
(c)    Organisasi Sosial
Dalam tiap kehidupan masyarakat, unsur-unsur khusus dalam organisasi sosial diorganisasi atau diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul sehari-hari.
Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar kaum kerabat, tetapi masih lingkungan komunitas. Karena tiap masyarakat terbagi-bagi menjadi lapisan-lapisan, maka tiap orang di luar kaum kerabatnya menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih tinggi dari padanya, tetapi juga orang-orang yang sama tingkatnya. Di antara golongan terakhir ini ada orang-orang yang dekat padanya dan ada pula orangorang yang jauh padanya( Koentjaraningrat, 1990:366). Sistem kekerabatan dalam masyarakat, tercermin dalam: perkawinan tolong-menolong antarkerabat, sopan-santun pergaulan antarkerabat, sistem istilah kekerabatan dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:208).
2.2.4 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam teknologi tradisional dikenal paling sedikit 8 (delapan) macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik. Kedelapan dipakai oleh manusia hidup dalam masyarakat pedesaan yang hidup dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, berupa: (1) alat-alat produktif, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat-alat menyalakan api, (5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamu, (6) pakaian dan perhiasan, (7) tempat berlindung dan perumahan, (8) alat-alat transpor. (Koentjaraningrat 1990:343).
2.2.5 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Untuk mempertahankan hidup, manusia harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis dan sosial, seperti makan, minum, dan bekerja sama. Untuk itu, mengapa manusia harus bisa bekerja atau memiliki mata pencaharian. Sistem mata pencaharian dapat diperinci ke dalam beberapa jenis seperti: perburuan, peladangan, pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri manufaktur. Tiap jenis mata pencaharian tadi, terkait dengan system sosialnya, sisem sosial yang berlaku dan diberlakukan di dalam berinetraksi dan bekerjasama dalam kaitannya dengan mata pencaharian disebut sebagai adat. Adat dalam sistem sosial tercermin dari keteraturan dalam berbagai aktifitas sosialnya. Sedangkan adat yang dimanifestasikan dalam wujud fisik yang berupa berbagai peralatan yang tentunya merupakan benda-benda kebudayaan (Koentjaraningrat 1990: 207).
2.2.6 Sistem Religi
Sistem religi, menyangkut sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Sistem upacara kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap suci. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu : (1), tempat upacara kegamaan dilakukan, (2) saat-saat upacara keagamaan dijalankan, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. (Koentjaraningrat 1990:377-378).
2.2.7. Kesenian
Kesenian sebagai unsur kebudayaan, merupakan ekspresi hasrat manusia akan keindahan.







BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

2.3. Kebudayaan Masyarakat Batak
2.3.1    Pengertian Kebudayaan Batak

Batak adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebutParmalim). Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan sukubangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu ciri yang khas bagi sukubangsa Batak yakni : Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yangmenciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi. Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan sebagai mahluk sosial yangselalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, Tuhan Maha Pencipta sebagai titik orientasi spritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik. Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran.Patik ditandai dengan kata Unang, Tongka, Sotung, Dang Jadi. Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum.Uhum/Hukum ditandai olehkata; Aut, Duru, Sala, Baliksa, Hinorhon, Laos, Dando, Tolon, Bura dsb. Didalam menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama interaksi antara sesama manusia dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung. Dan mengharamkan segala aturan untuk dilanggar dikatakan dengan kata Subang
Berikut ini akan penulis uraikan unsur budaya yang terdapat pada Masyarakat Batak. Namun demikian, analisis hanya beberapa unsur saja yang penulis anggap penting dan menonjol, terbatas pada bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan atau religi, dan kesenian.

2.3.1 Bahasa
Bahasa sangat penting artinya bagi suatu kelompok masyarakat, baik modern ataupun pra-modern. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi antar manusia, tetapi juga sebagai perekat persatuan antarwarga suatu komunitas dan simbol identitas bahasa yang membanggakan bagi pemiliknya. Demikian halnya dengan masyarakat Batak, menggunakan bahasa Batak dalam berinteraksi sosial yang menjadi ciri khas budaya mereka. Bahasa khas yang sering diucapkan oleh orang-orang Batak adalah horas.
Horas adalah kata salam masyarakat Batak yang berasal dari daerah Sumatera Utara, khususnya “Tapanuli”, yang selalu diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain kata horas salam khas yang lain, yaitu mejuah-juah dari daerah Karo, njuah-juah dari daerah Dairi, yahobu dari daerah Nias. Namun, kata horas lebih umum digunakan dan lebih populer. Sulit untuk menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, karena kata horas mempunyai makna yang sangat luas, di antaranya adalah: apa kabar, walafiat, salam perkenalan, selamat pagi/siang/malam, selamat datang/ jalan, selamat tinggal, dan lain-lain.
Bahasa adalah sarana komunikasi untuk menerima infomasi dan menginformasikan sesuatu kepada orang lain dengan lisan atau tulisan. Bahasa Batak adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak sebagai bahasa seharihari baik dalam upacara-upacara adat maupun keagamaan.
Marbun dan Hutapea (1987:59) mengartikan kata horas atas dua jenis, yaitu : (1). Kuat, tetap teguh, selamat, keras. Sejak semula ucapan salam orang Batak ialah:” Horas tondi madingin, pir tondi matogu!” artinya: semoga tondi kita tetap kuat, nyaman dan teguh. (2) ucapan salam pertemuan, perjumpaan, sebagai pemberkatan atau sebagai doa.
Penduduk Tanah Batak biasa disebut suku bangsa Batak. Suku bangsa ini masih terbagi-bagi menjadi beberapa subsuku. Mengutip pendapat Joustra (dalam Simanjuntak, 2006:18) bahwa suku bangsa Batak terdiri atas enam subsuku.
Joustra mendasarkan pembagian atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan dialek di antara masing-masing subsuku sebagai berikut :
1. Batak Karo, di bagian utara Danau Toba
2. Batak Pak-pak/ Dairi di bagian barat Tapanuli
3. Batak timur atau Simalungun di timur Danau Toba
4. Batak di tanah Batak pusat dan di utara Padang Lawas
5. Batak Angkola di Angkola, Sipirok, Padang Lawas tengah dan sibolga
6. Batak Mandailing di Mandailing dan Padang Lawas bagian selatan.

Bahasa yang dipergunakan masyarakat Batak dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Toba atau bahasa tutur parhataan, karena kelima suku Batak tersebut memiliki bahasa yang berbeda-beda. Batak Karo menggunakan bahasa Karo, Batak Simalungun menggunakan bahasa Simalungun, Pakpak/Dairi menggunakan bahasa Dairi, dan Mandailing menggunakan bahasa Mandailing.

2.3.2 Sistem Pengetahuan
Sistem pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan dua jenis musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.
Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya.
 Jenis tumbuhan bambu misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air, ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan lak-lak tersebut hanya seorang Datu.
Masyarakat Batak mengetahui dan menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif dan memanfaatkan untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu hanya untuk raja-raja, tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.
Di Tomok hanya ada beberapa saja yang ditemukan makam raja, yang tidak dikubur dalam tanah.
Sejarah terbentuknya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan-tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan, tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat Batak pada masa itu. Kemudian tumpukan itu berkembang terus dan berobah menjadi sebuah patung, sesuai perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah manusia atau binatang.

2.3.3 Organisasi Sosial
2.3.3.1 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan ayah. (Vergouwen 2004:1).
Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak, mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam struktur  itu sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur.
Hubungan antara satu marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan sebutan dongan-sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal ini yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan (affinal relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.
Selain itu pernikahan  juga berfungsi menentukan kedudukan, hak, dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok kehidupan adat,bermasyarakat.
Kedudukan yang paling tinggi adalah golongan hula-hula. Hulahula dianggap masyarakat Batak sebagai golongan yang sangat dihormati dan tinggi kedudukannya. Hal itu ditegaskan oleh Vergouwen (melalui Simajuntak 2005:102) bahwa hula-hula adalah Debata na tarida (Tuhan yang terlihat). Sebagai pihak pemberi istri, golongan ini dianggap mempunyai kekuatan magis religius untuk melimpahkan pasu-pasu (anugerah roh) atau sahala (kekuatan rohani) pada golongan penerima istri. Hula-hula boleh meletakkan tangan kekepala pihak boru dan kelompoknya.
2.3.3.2 Tarombo/Silsilah
.                                   Tarombo atau silsilah adalah marga dalam masyarakat Batak (Sarumpaet 1995:200). Tarombo adalah daftar asal-usul suatu keluarga (Marbun dan Hutapea, (1987:173). Dalam hal ini, hampir semua marga Batak telah mempunyai tarombo secara tertulis, di dalamnya tercatat semua keturunan marga yang bersangkutan. Kalaupun belum ada tarombo tertulis, setidaknya semua keluarga dapat mengetahui nama nenek moyangnya turun temurun, kepada dirinya sendiri.
Sebelum membahas lebih jauh, penulis akan menjelaskan asal-usul marga Batak. Kata marga “kelompok suku” dan marga “ induk” sudah sering digunakan seperti kata marga. Penggunaan ini tidak sesuai dengan ungkapan orang Batak yang memberikan makna tanpa batas yang pasti pada kata marga.
Orang Batak menggunakan kata marga untuk menunjukkan, baik satuan-satuan yang lebih kecil maupun yang lebih besar, juga kelompok-kelompok yang paling besar (lihat Vergouwen, 2004:19-20).
Sarumpaet (1995:136) memberikan pengertian tentang marga yaitu keluarga besar dari satu keturunan yang memakai satu nama keluarga.
Sementara menurut Situmorang kata marga berasal dari Sansekerta berarti jalan,tetapi mungkin juga aslinya berbunyi warga (sansekerta), yang menjadi marga dalam pelafasan menurut lidah Batak yang tidak mengenal huruf w, sehingga prinsip kemargaan sebenarnya bisa berarti kewargaan (dari satu garis keturunan/ marga) (2004:254).
 Berdasarkan beberapa pendapat di atas jelas begitu pentingnya marga dalam kehidupan masyarakat Batak. Jadi, pada umumnya semua orang Batak membubuhkan marga bapanya di belakang nama kecilnya.
Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan).
Sistem marga sebagai warisan leluhur dipupuk untuk menentukan identitas pribadi atau pun golongan; dan sistem ini sejalan dengan silsilah yang dipertahankan secara terus-menerus. Suatu hal yang lumrah bilamana seorang Batak tidak mengetahui silsilahnya atau hilang marganya, sebab disengaja atau tidak, maka orang itu disebut lilu (kesasar). Kemudian muncullah istilah Batak kesasar. Setiap orang Batak tidak akan senang disebut Batak kesasar. Untuk menghindari timbulnya istilah seperti itu di tengah-tengah masyarakat, maka setiap orang harus mengetahui sejarah leluhur yang mewariskan marga, sesuai dengan jenjang silsilah yang turun-temurun.
Cerita tentang asal-usul orang Batak dikatakan bahwa nenek moyang mereka adalah seorang putri surga yang bernama Siboru Deak Parujar. Debata Mula Jadi Na Bolon mengawinkan Si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-odap, juga berasal dari surga. Dari perkawinan mereka lahir sepasang anak kembar bernama Raja Ihat Manisia dan boru Ihot Manisia (perempuan). Kemudian keduanya menikah dan dan melahirkan tiga anak, yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu, dan Siaji Lapas-lapas. Raja Miok-miok mempunyai anak bernama Eng Banua. Kedua saudara raja Miok-miok tidak diketahui kabarnya oleh orang Batak. Eng Banua mempunyai tiga anak bernama Raja Bonang-bonang, Si Raja Atseh, Si Raja Jau. Namun, kedua saudaranya tidak diketahui kemudian. Si Raja Bonangbonang hanya punya anak satu bernama Guru Tantan Debata, yang anaknya bernama Si Raja Batak. Lalu Si Raja Batak mempunyai dua orang anak yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Dari kedua orang ini berkembang marga-margayang terdapat di tengah-tengah masyarakat Batak (lihat Simanjuntak, 2006:78-79).
Vergouwen (2004:8) mengatakan bahwa dari keturunan Guru Tatea Bulan muncul marga-marga Lontung, dan dari Raja Isumbaon muncul kelompok marga-marga Sumba. Kedua kelompok ini merupakan induk marga-marga Batak. Dari uraian di atas diketahui bahwa marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang mempunyai dua anak lelaki, Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon, yang menjadi leluhur dari kedua belahan atau cabang yang mencakup seluruh orang Batak. Jadi, suku Batak terabagi atas cabang Sumba dan Lotung
Marga memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Batak. Apabila seorang pemuda Batak mengambil istri dari suku lain, atau seorang gadis kawin dengan seorang pemuda dari suku lain, biasanya diadakan upacara adat mangangkat marga. Pengangkatan marga untuk wanita yang berasal dari suku lain disebut mangampu boru dan marga yang diambil biasanya marga ibu atau pun marga nenek sang suami yang berasal dari luar, disebut mangampu hela.
Perkawinan semarga sangat dilarang dalam masyarakat Batak, karena dua orang yang memiliki marga yang sama dianggap bersaudara. Tindakan yang dilakukan oleh dua orang yang kawin semarga, yang hampir tidak pernah terjadi disebut marsumbang
Setiap dua orang Batak dengan tepat dapat menelusuri hubungan kekerabatannya secara vertikal melalui garis keturunan, dan secara vertical horizontal melalui hubungan perkawinan.
 Kurang lebih sekitar satu juta orang Batak, seseorang sering bertemu dengan orang Batak lain yang benar-benar saling tidak kenal, pada umumnya orang Batak memiliki minat yang tinggi terhadap martutur (menelusuri) mata rantai silsilah partuturan (kekerabatan) jika ia berjumpa dengan orang Batak lainnya; apakah mereka kemudian menjadi kerabat dengan lainnya; apakah mereka kemudian menjadi kerabat melalui perkawninan; dan sebagai akibatnya, bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa.
Minat masyarakat Batak untuk mengetahui asal usul nenekmoyangnya terungkap pada umpama ( peribahasa) berikut :
Tinitip sanggar bahen huru-huruan
Jolo sinungkun marga asa binoto partutura
Artinya
Untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong galah
Untuk tahu hubungannya kekerabatannya, orang harus menanyakan marga.

2.3.3.3 Pemakaian Marga
Secara otomatis, seseorang yang dilahirkan di dalam suatu keluarga marga akan memperoleh marga itu. Kekeluargaan yang berdasarkan garis keturunan bapak, menimbulkan turunnya marga bapak kepada anak-anaknya.
Setiap orang Batak, memakai marganya di belakang nama biasa. Di mana pun mereka berada, marga itu selalu dipakai. Mengapa? karena Bagi orang Batak, marga adalah identitas. Marga berbau adat kalau di kalangan orang Batak, dan berbau suku kalau berhubungan sosial dengan suku bangsa lain. Juga kalau berhubungan dengan bangsa lain, marga tetap berbau suku. Jadi, walaupun mereka hidup terpencar di dunia marga itu tetap berfungsi adat untuk intern mereka. Misalnya, kalau dua orang marga Munthe bertemu di Semarang, satu laki-laki dan yang satu perempuan, maka secara otomatis mereka berhubungan sosial disebut namarito. Tetapi setelah mereka mengetahui derajat keturunan masing-masing dari Sumba, maka hubungan itu bisa menjadi hubungan bapak dan boru atau ama naposo (bapak muda) dan namboru atau tetap namarito.
Setelah mengetahui partuturan (hubungan keluargaan adat), maka dengan sendirinya berlaku adat persaudaraan dan tanggung jawab secara adat. Berlaku adat hak dan kewajiban, yang boleh dan tidak boleh di dalam hubungan sosialmereka. Perasaan persaudaraan, semarga seketurunan dan senenek moyang itu muncul dengan sendirinya.

2.3.4 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup dan teknologi masyarakat Batak . Sistem teknologi itu sendiri dapat diartikan sebagai segala tindakan serta cara manusia membuat, memakai, dan memelihara seluruh peralatannya selama hidupnya. Cakupan unsur-unsur sistem teknologi meliputi berbagai macam peralatan seperti alat-alat produksi, senjata, makanan, minuman jamu atau obat-obatan, pakaian, perhiasan, rumah dan sebagainya.
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.

2.3.4.1 Pakaian dan Perhiasan
Sistem teknologi terdapat dalam sastra lisan walaupun tidak terlalu menonjol. sistem teknologi pada zaman dulu sudah ada, misalnya pakaian yang sudah berwarna. Pakaian dalam arti seluas-luasnya juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting bagi untuk semua suku bangsa di dunia. Bahan mentah pakaian dapat dikelaskan ke dalam : pakaian dari bahan tenun, pakaian dari kulit pohon dan pakaian dari kulit binatang dan lain-lain
Asesoris bagi kaum perempuan Batak, benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang adalah symbol identitas budaya masyarakat Batak, di samping difungsikan sebagai benda untuk memepercantik kaum perempuan.
Dalam bidang teknologi tradisional masyarakat Batak lainnya dalam benda budaya yang berupa pakaian tenun, meskipun produk itu masih sederhana.
2.3.4.2 Wadah
Wadah adalah alat tempat untuk menimbun, memuat, dan menyimpan barang. Berbagai macam wadah diklasifikasikan menurut bahan dasarnya, yaitu kayu, bambu, kulit kayu, tempurung, serat-seratan, atau tanah liat. Masyarakat Batak memiliki beberapa macam wadah, yaitu hadangan (keranjang) dan uncang-uncang (pundi-pundi).
Selain hadangan dan uncang-uncang, peralatan lainnya adalah tempat duduk. Tempat duduk pada masyarakat Batak adalah amak (tikar). Alat ini selalu mengambil peranan penting, baik dalam upacara di halaman maupun di rumah. Adapun jenis tikar yang digunakan untuk tempat duduk, kadang-kadang juga berfungsi sebagai tempat tidur. Tikar ini biasanya pada zaman dahulu dianyam sendiri. Menganyam tikar merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh kaum perempuan, pekerjaan dilakukan pada waktu senggang.
2.3.4.3 Minuman
Tuak tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Batak di desa yang senang “nongkrong” di cafe khas Batak, yakni lapo atau kedai tuak. Lapo adalah media pergaulan masyarakat desa Batak. Mereka datang ke lapo dengan berbagai latar belakang, tujuan, serta dengan karakter yang bermacam-macam.
Kebiasaan bergaul di lapo secara positif dijadikan sebagai pengisi waktu luang, bersantai sejenak melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah-ladang, sambil menunggu saat tidur malam hari. Sambil mereguk tuak, bermain catur atau sekadar menonton marende (bernyanyi) sambil memetik gitar, di lapo mereka bertukar pikiran, saling mencurahkan beban hidup yang beragam. Mereka pun terlibat perbincangan panjang beragam topik mulai masalah pribadi atau seputar komunitas mereka, soal pendidikan anak-anak, pertanian, agama, adat-istiadat, dan banyak hal lainnya di sekitar kehidupan mereka. Secara negatif, kadang-kadang mereka juga bercakap kesana-kemari tidak tentu arah sampai larut malam. Ada kalanya ketika pulang ke rumah mereka sudah mabuk disebabkan alkohol tuak. Kondisi mabuk justru membawa tidur mereka dapat pulas, saat mana tenaga bisa terkumpul kembali di tubuh untuk bekal mereka membanting tulang esok hari disawah-ladang.
Sementara tuak itu sendiri terbuat dari nira, sejenis bir alam yang sudah diberi campuran. Campuran khusus terbuat dari kulit kayu yang disebut raru. Apabila air nira sudah dicampur dengan kulit kayu itu selama semalam, terjadi reaksi kimia yang membuat warnanya berubah menjadi putih dan berasa pahit dan mengandung alkohol. Menurut Tambunan, tuak tangkasan berasal dari air nira yang disadap pada mayang enau yang pertama keluar dari batangnya, merupakan kombinasi khusus untuk para Datu. Dalam tugas Datu sebagai perantara (medium) dengan roh-roh halus, maka minum tuak tangkasan merupakan semacam upacara magis spritual sebelum melaksanakan tugas.(lihat Tambunan, 1982:25).
2.3.4.4 Rumah
Teknologi pembuatan rumah sebagai suatu karya kebendaan masyarakat Batak terlihat dari desain rumah yang memiliki kolong dan bertangga,
Rumah disebut juga jabu atau bagas. Rumah orang Batak melukiskan alam kosmos. Rumah bagian pertama disebut bara, tombara (kolong) rumah. Gunanya untuk kandang ternak, kerbau atau sapi. Ternak itu adalah sahabat manusia yang turut membantu usaha pertanian. Oleh sebab itu, mereka juga harus dilindungi.

2.3.5 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat Batak pada umumnya ialah bertani, bersawah, berladang, berkebun, dan beternak. Sebagian mengkhususkan diri dalam mata pencaharian berjualan, bertukang, kerajinan tangan, pegawai atau buruh harian di sawah, dan sebagainya. (lihat Simanjuntak, 2006:21).
Juga selain sebagai pemahat patung, sumber mata pencaharian lain  mereka adalah berdagang, misalnya membuka warung (kedai) dan ada juga berdagang pada waktu pekan dan berpindah-pindah. Pasar biasanya diadakan hanya seminggu sekali, namun tiap huta (desa) berbeda-beda harinya.
Secara umum masyarakat Batak mempunyai mata pencaharian sebagai petani ladang dan sawah, mereka melakukan aktivitas bercocok tanam padi sebagai mata pencaharian utama.
Hasil panen padi mereka pada umumnya diolah sendiri menjadi beras. Caranya, setelah selesai dipanen biasanya padi dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk di dalam losung (lesung). Dengan cara menampi mereka memisahkan gabah dan beras, itu merupakan cara tradisional sebelum masuknya mesin penggilingan padi. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kaum wanita, dan dilakukan secara bergotong-royong. Kegiatan menumbuk padi ini dilakukan pada waktu senggang sore hari, sepulang dari sawah atau ladang.
Selain ahli patung, dan berdagang, mata pencaharian lain yang juga dilakukan masyarakat Batak ialah beternak. Berternak merupakan mata pencaharian sampingan untuk menambah kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan untuk adat -istiadat, terutama ternak babi, kerbau, sapi, ayam, kuda dan memelihara ikan. Pekerjaan beternak dilakukan secara perseorangan, tetapi setiap orang memelihara tidak semua jenis ternak. Kadang-kadang hanya beternak babi saja, atau kerbau saja.

2.3.6 Sistem Kepercayaan atau Religi
Sistem kepercayaan atau sistem religi sebagai suatu aspek social masyarakat Batak merupakan hal yang paling menonjol.
Sempat di Batak menganut animisme (tidak mengenal Tuhan melainkan percaya dan memuja roh-roh halus). Namun, di sisi lain mereka juga mengenal “Tuhan” dalam konsep Mula Jadi Na Bolon ( Sang Pencipta Yang Agung) agama asli suku Batak. Jadi, sistem kepercayaan lama Batak itu, sebenarnya adalah Dinamisme, dua keyakinan sekaligus, yakni konsep Dewata dan Konsep Mula Jadi Na Bolon.
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan. Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun demikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep asli religi penduduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus.
Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal
2.3.6.1 Percaya tentang Roh
Dalam hal jiwa dan roh, masyarakat Batak mengenal beberapa kensepsi, antara lain yang disebut tondi, sahala dan begu. Tondi atau roh adalah diri pribadi orang itu sendiri. Di dalam diri orang yang hidup terdapat tondi. Apabila manusia sudah meninggal, maka sekaligus tondinya lenyap. Tondi tersebut merupakan keadaan yang kekal bersama tubuh selama manusia hidup. Tondi menentukan nasib setiap orang. Sebelum lahir, tondi setiap orang akan meminta sehelai daun pohon kehidupan dan di atas daun itu ditulis nasibnya. Jadi, nasibnya bebas diberikan sesuai dengan yang dimintanya
Demikian menurut keyakinan masyarakat Batak zaman dahulu. Tondi dianggap mempunyai suatu eksistensi yang berdiri sendiri dan kemampuan menggunakan pengaruhnya atas kejadian-kejadian yang sekarang dan akan datang. Tondi orang hidup adalah orang yang meninggal dan mereka yang lahir adalah bersama dewata tertinggi di dunia dan bergabung dengan dewata dengan cara sedemikian rupa sehingga tondi itu dewata tertinggi sendiri berada dalam semua makhluk hidup.
Begu adalah tondi orang yang sudah mati. Kematian, sebagaimana dalam pengertian ajaran agama manapun, adalah bercerainya tubuh dengan roh. Sesuai dengan alam pikiran masyarakat primitif, begu itu mempunyai kegiatan yang berlawanan dengan manusia diwaktu malam. Sifat-sifatnya sama dengan sifatsifat waktu hidup. Di antara begu-begu itu ada yang baik dan ada pula yang jahat.
Begu yang jahat tersebut dipuja dengan perantaraan pellean (sesajen), dan dapat mendatangkan bala apabila tidak disembah. Sedangkan pengertian tondi di atas ada kaitannya dengan apa yang disebut sahala. Sahala itu berhubungan dengan kualitas seseorang.
Sahala itu tidak hanya melukiskan tentang fisik seseorang saja, tetapi sesuatu yang terkandung pada diri seseorang itu. Sahala itu berbeda kualitasnya pada setiap orang. Sahala itu bersifat kekal, menurut kepercayaan masyarakat Batak, sahala itu menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Di antara upacara Toba ada dua jenis upacara terpenting, yaitu: (1) Horja, pesta marga (dibedakan dari pengertian Horja sebagai institusi sub-divisi Bius), diprakarsai oleh marga untuk melaksanakan puja kepada “leluhur marga” (Ompu atau pinompar marga), dipimpin oleh tua-tua marga (suhut), dengan atau tanpa memesan Datu-Bolon untuk acara “mengundang roh leluhur”, dengan “tari tunggal panaluan”. (2) Pesta Bius (istilah asli) yang berlangsung sekali tiap “tahun padi”, yang sepenuhnya diselenggarakan oleh organisasi Parbaringin di bawah pimpinan Pande-Bolon, pendeta utama. Upacara itu didukung dan dihadiri oleh seluruh warga Bius tanpa pandang usia dan jenis kelamin atau kedudukan sosial. Organisasi Parbaringin bertangung jawab pada pemerintahan sekuler Bius mengenai jalannya keseluruhan upacara (Situmorang, 2005:140).
2.3.7 Kesenian
Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari, seni bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan.  Terdapat beberapa seni masyarakat Batak, antara lain
2.3.7.1 Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak mereka dan sekaligus mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan bentukan dari kata dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau ber-.
Margondang menyatakan kata kerja yakni bergendang atau memainkan alat musik gendang. Margondang merupakan suatu kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu. Tujuan filosofinya adalah untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
Margondang tidak pada semua acara adat dapat dihadirkan. Upacara margondang misalnya dilakukan pada pesta muda-mudi, pesta selamatan pada masa panen sebagai ucapan syukur, pada adat peristiwa kematian orang-orang tua yang sudah bercucu, upacara ritual menggali tulang-belulang orang tua atau leluhur, dan beberapa pesta adat lainnya
2.3.7.2 Manortor
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang). Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila upacara penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau memberi nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring (upacara menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon); upacara tahunan, dan pesta edangedang (pesta sukaria) (Marbun dan Hutapea, 1997:181).
Hal terburuk yang bisa saja terjadi pada masyarakat Batak adalah meninggal tanpa sebab, yang menyebabkan rohnya dihukum sehingga rohnya akan mengembara di tengah-tengah dunia tanpa seseorang pun memuliakan arwahnya atau memberikan persembahan, berupa makanan, yang disebut dengan pellean (sesajen). Takdir kematian yang menakutkan itu, juga akan mengganggu ketenangan klen dan seluruh penduduk yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, masyarakat Batak mengadakan upacara “papurpur sapata” (menabur sumpah) untuk sedapat mungkin menghindari takdir jelek yang menimpa masyarakat Batak, yaitu tidak memiliki keturunan, khususnya keturuan laki-laki dalam keluarga.
Masyarakat Batak meyakini harta benda yang diwarisi dari seorang yang mati punah, kebanyakan tidak membawa kebaikan maka seluruh kekayaan yang mati punah tersebut dihabiskan dengan mengadakan upacara. Orangorangsekitarnya tidak akan berani mengambil harta benda tsersebut, karena takut akan tertular atau mati seperti pemiliknya.
Dahulu kata tari-menari itu dihubungkan dengan kepercayaan animism yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Orang-orang Batak pada zaman dahulu mengadakan upacara gendang sambil menari untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Orangorang primitif itu manari bilamana ada orang yang lahir, dan apabila seseorang sudah akhil baliq dan diterima sah sebagai anggota suku, setelah mereka menikah, dan pada waktu sudah mati. Tari dikalangan masyarakat Batak berkaitan dengan animisme. Pada mulanya tarian itu dimainkan untuk memuja dewa-dewa. Tarian khusus disampaikan kepada dewa, akhirnya menjadi tarian umum yang kemudian menjadi seni budaya Batak. Tari yang bersifat ritus dikenal dengan tongkat sihir yang dimainkan oleh seorang Datu (dukun) sambil memegang tongkat yang disebut Tunggal Panaluan.
Gondang dan tor-tor berhubungan satu sama lain. Irama tari dan nama tari itu disesuaikan dengan irama gendang. Dahulu gondang itu dibagi dua kelompok. Kelompok pertama disebut gondang datu yang khusus untuk datu, dan yang kedua disebut gondang hasuhotan, khusus buat mereka yang mengadakan acara.
2.3.7.3 Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada sejak lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan –tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan. Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk patung. Sesuai dengan perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah manusia atau binatang. Di Tomok, Pulau Samosir, terdapat jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Bapak Charles Sidabutar, salah satu keturunan raja yang kini menjaga makam, menjelaskan bahwa sesuai kepercayaan setempat pada saat itu, jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah, melainkan harus di dalam batu.
Di daerah Batak peninggalan-peninggalan kebudayaan megalitik sampai saat ini masih banyak dijumpai, misalnya batu berdiri (menhir) dan batu-batu yang disusun berupa mejan batu (dolmen) terletak dekat batu-batu kecil ( kursi) yang dipakai sebagai tempat pertemuan seperti di Ambarita (Samosir), dan Sarcophagus atau keranda (bentuknya seperti lesung atau palung bertutup). Kursi batu menurut kepercayaan orang / masyarakat, pada waktu itu adalah tempat para arwah leluhur mereka, sebab ada penghormatan kepada leluhur, oleh sebab itu mereka berhak duduk pada kursi-kursi tersebut. Sarcophagus18 atau keranda yang dibuat dari batu besar bagian tengahnya ditata untuk tempat penguburan tulangtulang manusia yang berasal dari kebudayaan megalitik muda, yang masih banyak dijumpai di tanah Batak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayoo..Liat apaan tuuu